Selasa, 31 Mei 2011

Sutardji C. Bachri dan Puisinya

Sutardji Calzoum Bachri

         Ia pernah menyatakan diri sebagai “ presiden penyair Indonesia “. Pelopor penulisan puisi konkret dan mantra ini akhir-akhir ini banyak terlibat dalam pembacaan puisi di sekolah-sekolah dalam rangka pembinaan apresiasi puisi.
         Sutardji merintis suatu bentuk baru dalam puisi Indonesia , yakni puisi konkret dan mantra. Puisi  dikembalikan pada kodratnya yang paling awal , yaitu sebagai mantra yang mengandalkan kata sebagai kekuatan bunyi yang tidak “dijajah” oleh makna atau pengertian . dalam kredo puisi yang merupakan perwujudan sikap Sutardji dalam berpuisi antara lain dinyatakan bahwa kata-kata adalah pengertian itu sendiri. Kalau diumpamakan dengn kursi , maka kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Selanjutnya, ia juga menyatakan bahwa dalam puisi saya , saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lin seperti moral kata yang dibebaskan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor ( obscene ) serta penjajahan gramtika.
         Lahir 24 Juni 1941 di Rengat ( Riau ) , Sutardji pernah mendapat hadiah seni dari pemerintah Republik Indonesia ( 1993 ) dan dari Dewan Kesenian Jakarta ( 1976-1977 ) , juga dari South East Asia Write Award ( Bangkok, 1981 ). Kumpulan puisinya berjudul O, Amuk, Kepak ( 1981 ). Kritik sastra yang dilontarkan Sutardji dalam masalah penulisan puisi terkenal dengan nama Kredo Puisi.
         Berikut disajikan “Solitude” dan “Sepisaupi”

Solitude

yang paling mawar
yang paling duri
yang paling sayap
yang paling bumi
yang paling pisau
yang paling risau
yang paling nancap
yang paling dekap
samping yang paling
Kau !

       ( O, Amuk, Kapak, 1981 )

         Puisi “ solitude” menunjukkan kesepian hati penyair ( Solitude, artinya kesepian ). Saat hening dan sunyi itu dapat dirasakan oleh penyair, bahwa tidak ada yang maha segala-galanya kecuali Tuhan  ( Kau! Dengan huruf besar di sini berarti Tuhan ).
         Penyair menyebutkan beberapa hal yang paling, yaitu : mawar, duri, sayap, bumi, pisau, risau, dan nancap, dan dekap. Delapan hal yang paling itu dapat diklasifikasikan sebagai hal yang menyenangkan dan hal yang tidak menyenangkan. hal yang menyenangkan adalah mawar, sayap, bumi dan dekap, sedangkan yang tidak menyenangkan adalah duri, pisau, risau dan nancap.
         Kata mawar di sini melambangkan perasaan bahagia. Kata sayap melambangkan hal yang diimpikan oleh penyair, sedangkan kata bumi melambangkan hal yang nyata dalam kehidupan penyair, dan dekap melambangkan hal yang akrab dengan diri penyair. Jadi, dari sifat-sifat baik itu , Tuhan dapat dinyatakan “yang paling membahagiakan, yang paling diimpikan, yang paling nyata, dan yang paling akrab dengan penyair”. Namun , ternyata Tuhan sulit dijangku dengan pikiran manusia, karena itu muncul duri, pisau, risau, dan nancap.
         Penyair menyatakan rahasia Tuhan yang sulit diketahui, sebagai yang paling duri ( paling menyakitkan hati karena tidak mampu memahmi rahasia-Nya ), yang paling pisau ( paling melukai hati karena tidak mampu memahami diri-Nya ), yang paling risau ( menggelisahkan karena tidak mampu memahami rahasia-Nya ), dan yang paling nancap ( membuat kecewa yang dalam karena tidak mampu memahami-Nya ). Semua itu direnungkan dalam “Solitude” atau sepi.

Sepisaupi

sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sapisau nyanyi

sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang duri

sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisau-Nya ke dalam nyanyi

       ( O, Amuk, Kapak, 1981 )

         Dalam puisinya “Sepisaupi” penyair memain-mainkan kata sepi dan pisau. Di dalam puisi ini , permainan bunyi sangat diperhatikan seperti halnya di dalam mantra. Karena ada kata “sepi” dan “pisau” maka timbul kata sepisaupi. Kata luka dihubungkan dengan duri , maka jadilah baris puisi sepisau luka pepisau duri. Bait ini berkaitan dengan duka, sepi, dan luka hati. Kata sepisau juga dikaitkan juga dengan sepukau dan serisau yang semua berkaitan dengan sedih ( luka dan duri ). Namun kemudian, kesedihan itu menjelma menjadi nyanyi.
         Pada bait-bait berikut , penyair mempermainkan kata “sepi” dan diakhiri dengan pernyataan sampai pisau-Nya ke dalam nyanyi. Hal ini berarti bila seseorang berdendang dalam sepi , maka Tuhan akan membuat kita menyanyi.
         Jika merenung dalam sepi, susah payah kita dalam mempertanyakan Tuhan akan mendapat jawaban yang membahagiakan. Pemahaman kita akan Tuhan , walau sedikit akan membahagiakan kita.

Disalin dari buku Apresiasi Puisi untuk Pelajar dan Mahasiswa
pengarang Hermawan J. Waluyo

-- Chintia --

0 komentar: